Oleh Muhammad Nursal *
Nun jauh disana, Aberdeen, United Kingdom, di Belahan benua biru. Ia sedang berjuang melewati Ramadhan kedua. menahan lapar dengan durasi yang lebih panjang. 18 jam. Diselimuti udara dingin yang bisa mengosongkan perut. Juga Diantara kerumunan mayoritas bule Eropa.
Pendidikan strata tiganya sudah setengah jalan. Ia menuju podium Philosophy of doctor. Sedikit lagi, ia akan menjebol Aberdeen University. Salah satu perguruan tinggi terbaik di tanah Skotlandia.
Kak Ali, begitu kami memanggilnya. Ia Panutan. Sedari 20 tahun yang silam. Di Pondok, Tak dibiarkannya rayap menggauli kitab-kitabnya. Selalu on target, Melahap buku. Karena itu, Otaknya berpengetahuan.
Darinya, kami belajar keuletan. seperti kata Mahfuzhot ” Man Jadda Wajada”, siapa yang bersungguh-sungguh akan menuai hasil. Akhirnya, lelaki Gangking bulukumba ini melanglang buana dengan ilmunya. Benarlah kata Imam Syafei : “Jika kamu tak tahan lelahnya belajar maka kamu harus tahan dengan perihnya kebodohan”.
Saya sedikit beruntung, pernah menimba ilmu darinya. Juga pernah berkunjung ke kampungnya. Ayahlah pemecut semangatnya. Ia memeras peluh/harta bendanya demi pendidikan anak-anaknya. Dan Ali membalas dengan menegakkan kehormatan keluarganya.
Di saat Ali menghangatkan tubuhnya, di benua Aboringin, kota Adelaide, Musyawir, koleganya sedang beradaptasi dengan “alam” kota 1001 gereja itu. Disana, jika musim gugur, durasi puasa berkisar 10 atau 11 jam. Tapi lain cerita, jika bertepatan dengan musim panas, bisa 18 jam. Isbhir akhi !!!
20 Tahun lalu, Ali dan Musyawir di pesantren hidup se-zaman. kakak Cawi, kami memanggilnya. Ia punya hikayat berbeda. Orangnya easy going, selalu ceria. Tapi multi talented. Salah satu pemilik “belah-dua” terbaik kala itu. Tampan bin Rupawan. Banyak Akhwat yang menyimpan rasa untuknya.
Otak kanannya mendominasi. Seni dan olahraga habis dibakatinya. Santri inilah yang mengarsiteki “maket” denah dan bangunan Darul Arqam. Padahal waktu itu masih belia (SMA). Kalau olahraga, jangan ditanya. Betisnya berotot, bekal bek di sepak bola. Tangannya bertungkai, sebagai tumpuan touser lihai di volley. Tapal kakinya tebal, garda defencing di sepak Takraw.
Ia juga kawan yang setia. Militan. Kau akan dibela semampunya. Seperti ketika Ia di kampus peradaban, Alauddin. Aktifis yang dihormati oleh kader mudanya.
Tak dinyanah, angin takdir membawanya ke benua Australia. Doa terbaik selalu untukmu kakak Cawi Gantengku. Tersenyumlah di tanah Mabellae, bumi perantauan.
Ali dan Musyawir sedang menjajal hidup di negeri bule. Namun, di patahan benua lainnya, di Negeri Qibti, Mesir, ada partnernya, membauri orang Arab dan Afrika. Irsyad Ismuhu. Jika menyebut nama ini, selalu saja lisanku ingin merapal doa, “Malampe Sumengemu cappo, mabarakka dallemu, mulolongeng pammasena Puang Allahu Taala”. Maklum kakak Icca ini sekampung dengan saya. Bumi Lasinrang.
Kak, Ali, Cawi, Icca, ketiganya se-generasi. Kak Icca, santri yang seimbang. Otak kanan dan kirinya. Sama kualitas bahasa arab dan inggrisnya. Ia tipe akademisi tetapi bertalenta atlet. Juga musisi. Cakep pula. Diangkatannya, tak ada yang melebihi dalam menyenar tali gitar. Petikannya mendawai Ala Nirvana Kurt Kobain juga mampu bersenandung ala Bang Haji Rhoma Irama.
Tapi jangan Salah, iya bergelar Lc, dari Universitas Al-Azhar. Se-Almamater dengan banyak Mufassirin, seperti Quraish Shihab. Ia sudah menghabiskan umurnya 15 tahun bermukim di Kairo. Berbisnis. Bahkan sudah hampir menjadi penduduk mesir. Jika diberi umur panjang dan rezeki, semoga suatu saat, ia meng”guide” kami menunjukkan situs-situs kepongahan firaun di negara nabi Musa itu.
Bukan hanya Mesir yang menjadi bukti kepongahan manusia. Hiroshima, Jepang juga menjadi sisa peninggalan nafsu amarah penghuni alam ini. Kota ini pernah luluh lantah oleh Bom Atom USA di periode Agustus 1945. Sekarang tidak lagi. Ia sudah menjadi pemukiman yang nyaman. Juga kota pelajar. Adalah Subaedy Yusuf dan keluarganya sedang menimba ilmu disana. “Baku teman” juga dengan ketiga orang sebelumnya. Kakak bedi panggilannya.
Kakak bedi ini, bakatnya jadi Scientist eksakta. Ia unggul di fisika dan kawan-kawannya. Minatnya di bahasa arab minimalis sekali. Kendati pun begitu, di mahkamah mufrodat (ujian kosa kata arab/inggris) sering lolos di sanksi cubitan. Entah karena menghapal atau dekat dengan senior. Maklum ada senior dari tanah Massarempulu Enrekang kala itu.
Cuman Sedihnya, kakak bedi tidak sempat membersamai teman-temannya sampai Akhir. Sehingga kurang lagi pasokan salak manis enrekang yang dibagi. Beberapa tahun kemudian terpost kabar, ia telah merengkuh gelar Dokter Hewan (Drh) di Universitasnya Patih Gajah Mada Yogyakarta.
Kini dinegera Jepang, ia merasakan Atmosfir Ramadhan. Ditemani oleh bunga sakura dan dinginnya salju. Kota Enrekang mungkin tak sesejuk Hiroshima, tapi ia tak mungkin mengalahkan manis buah salaknya. Jika sedang di pinggir sungai ota, ingatlah sungai Saddang yang meng”ular” di kampung halamanmu.
Ingat pula, Anas, saudara seperguruanmu. Pemuda Jeneponto itu. Yang dari dulu di pesantren sudah doyan menghapal Alquran dan mufrodat bahasa arab. Diam-diam suka menimba ilmu sama senior, termasuk meminjam kamus-kamus bahasa.
Tak diduga, anas menyusul kakak Icca di Mesir. Lalu menggapai pula gelar Lc di Al-Azhar. Selepas menyabet ijazahnya, ia pulang dan menemukan jodoh negeri +82. Terakhir ia sudah bertitel magister dari Universitas Indonesia.
Selain jadi ustad, ia bermetamorfosa menjadi Owner Indonesia Alyaum. “News” seputaran Indonesia yang berbahasa Arab. Kemampuan lughohnya dapat membaca kitab gundul maupun yang gondrong. Ia sering menebar berita dari jantung ibukota Indonesia, Jakarta.
Kak Ali, Cawi, Icca, Bedy, Anas semuanya seletting, akan berbagi ilmu dalam tajuk, Stay At Home, 5 Negara 4 Benua
Kami akan mendengarmu, ditanah mudik, sembari bersua dengan para sanak saudara.
Lagi-lagi, “Orang yang berilmu dan beradab, tidak akan diam di kampung halaman. Tinggalkan negerimu, merantaulah ke negeri orang.” Begitu kata Imam Syafei.
Senior-Seniorku di tanah yang jauh (Perantauan) : perahu sudah di kayuh, layar sudah dikembangkan, pantang pulang tak ber”ikan”, setidaknya kembali tak berliur muntah
____
- Santri Darul Arqam Gombara