More

    Mengenal Pesantren Al-Fatah Temboro, Magetan

    (Bagian Ketiga-Habis)

    Thobib Al-Asyhar

    Datang ke Temboro, sebuah desa di Magetan adalah kali pertama saya ke sana. Tentu saya punya anggapan sebelumnya bahwa sebuah pesantren yang akan saya kunjungi kurang lebih sama dengan pesantren lain di Indonesia. Namun begitu saya sampai di sana saya melihat sesuatu yang berbeda dengan lingkungan pesantren Jawa pada umumnya. Apanya yang beda?

    Baca juga: Mengenal Pesantren Al-Fatah Temboro, Magetan (1)

    Yups. Temboro mungkin bisa dibilang sebagai miniatur Arab atau Pakistan yang ada di Indonesia. Kalau di Singapura ada little India, Temboro bisa dibilang little Arab or little Pakistan. Apa yang saya lihat di negara-negara Arab, saya menemukan di sini. Sebagai contoh: saya sulit menemukan wajah perempuan di sana. Khusus pesantren putri (pi) semua santrinya berbaju abaya hitam dengan cadar hitam. Actually, they are like Arabian women.

    Demikian juga penduduk sekitar. Saya tidak menemukan perempuan yang tak bercadar. Mereka berlalu lalang dengan berjalan kaki dan motor, all of they were wearing black abaya and cadar. Ada sih sekalinya saya lihat di pojok desa Temboro seorang perempuan gak pake cadar, tapi nenek-nenek. Hmmmm, nasib gue dah… Hehe…

    Juga tidak ada perempuan muda-mudi berboncengan dengan motor seperti di kota. Tidak ada orang berpacaran sambil selfie-selfie pinggir jalan. Kalau toh ada bisa dipastikan mereka pasangan suami istri. Toko-toko pinggir jalan rata-rata dijaga cewek-cewek bercadar atau laki-laki bergamis khas Pakistan/India. Banyak toko yang menjual abaya hitam, baju dan kopyah pakistan, minyak wangi, dan lain-lain.

    Demikian juga para santri laki-laki dan penduduk sekitar. Almost mengenakan baju gamis ala Pakistan/India. Demikian juga kopyahnya khas, semacam kupluk dari kain yang memiliki corak khusus. Meskipun juga tidak ada larangan mengenakan baju corak lain. Yang pake sarung juga banyak. Sebenarnya, baju buat laki-lakinya tidak ada ketentuan khusus, tapi habit mereka mengenakan pakaian ala Pakistan/India.

    Nah, bagi laki-laki dewasa, as usual, punya jenggot panjang. Boleh juga gak berjenggot sih sebenarnya. Artinya, jenggot dan tidak jenggot itu soal pilihan dan kemauan saja. Mau pelihara jenggot boleh karena dianggap sunnah Nabi, gak juga tentu ndak napa-napa.

    Lalu apa hubungannya dengan Pakistan? Yaps. Meski secara geneologi pesantren ini nyaris sama dengan tradisi NU, namun mereka mengembangkan sebuah tradisi baru dalam bentuk identitas sosial. Identitas sosial ini tidak lepas dari spirit pesantren yang memilih jalan “tabligh” seperti apa yang dibawa oleh KH. Uzairon pasca pulang belajar dari Pakistan. Pesantren ini memang mengusung konsep tabligh sebagai jalan dakwahnya. Orang bilang, pesantren “jamaah tabligh” terbesar di Indonesia.

    Nah, apa yang mempengaruhi pilihan dakwah dengan tradisi pesantren? Pesantren Al-Fatah, Temboro ini mewajibkan kepada para santri untuk melakukan “khuruj” atau keluar dakwah ke masyarakat setiap hari Kamis. Makanya tidak heran kalau hari libur pondok itu hari Kamis. Tentu berbeda dengan pondok lain, biasanya hari liburnya Jumat.

    Setiap santri “diwajibkan” untuk “khuruj” ke masjid-masjid sekitar desa Temboro untuk “menghidupkan” aktifitas keagamaan masjid. Mereka menginap semalam di masjid dengan membuat halaqah dan lain-lain. Rabu sore berangkat dan kamis sore pulang ke pondok. Lalu apa yang mereka bawa? Seperti biasa, mereka bawa baju salin, peralatan mandi, dan tentu saja bawa peralatan utk memasak, khususnya panci dan kompor.

    Baca juga: Mengenal Pesantren Al-Fatah Temboro, Magetan (2)

    Tugas “khuruj” itu bagian penting dari tugas santri untuk menghidupkan dakwah. Mereka punya kewajiban utk mengajak umat Islam mencintai masjid. Meningkatkan kesadaran umat utk memperbaiki akhlak, bersatu, dan meningkatkan kualitas iman dan takwa kepada Allah. Seluruh alumninya juga punya kewajiban utk melaksanakan tugas ini.

    Ada satu pertanyaan penting yg saya sampaikan ke ketua Yayasan begini: maaf pak ustadz, apakah ada unsur keyakinan atau ideologi tertentu terkait identitas pondok, khususnya soal gamis dan abaya hitam plus cadar? Yups, ini pertanyaan penting yang perlu didengar ya gaes…

    Lalu apa jawabnya? Dengan santai beliau menjawab: Kata mbah Kyai Mahmud, pendiri pondok ini, dalam kitab Safinatun Naja, satu aturan yang sulit dilakukan di Indonesia itu menutup aurat bagi perempuan, yaitu menutup seluruh anggota tubuh selain saat shalat. Nah di pesantren ini ternyata bisa dilaksanakan.

    Hanya itu? Iya, jawabnya. Oooo, Its very simpel. Sesederhana itu alasannya. Dia katakan, tidak ada sama sekali ideologi tertentu dibalik itu, kecuali ingin melaksanakan apa yang diajarkan dalam kitab-kitab Syafiiyah, imbuhnya.

    Jadi, apa yang dipilih oleh pondok Al-Fatah Temboro, Magetan adalah satu perspektif. Itu murni pilihan. Apalagi didasarkan pada landasan pendapat ulama yang bisa dibaca dalam kitab-kitab kuning. Meski ada juga perspektif lain, bahwa cadar adalah bagian dari budaya Arab. Yes, masing-masing punya alasan dan perspektif berbeda. Wis ora usah saling klaim dan tuduh yah…

    Yang paling penting dari itu semua, kita perlu menghargai pilihannya, toh ada dasar yang dijadikan rujukan. Sekali lagi, ini soal pilihan, bukan sebuah relasi absolut terkait ideologi yang dianggap dapat membahayakan keamanan, dan lain-lain. Soal identitas kelompok melalui pakaian, clearly, tidak ada hubungannya dengan radikalisme. Mereka mengaku bukan salafi, bukan pula kelompok yg memiliki agenda politik jihadis.

    Hal lain yang juga perlu diketahui di pondok ini adalah adanya aktifitas suluk ala Tarekat Naqsyabandiyah. Yups, tarekat bagi mereka juga hal penting. Jalan spiritual yang bisa menemukan kesejatian diri. Ya, ini searah dan sejurus dengan praktik kaum sufi, dimana untuk menemukan Tuhan dapat dilakukan dengan cara mengetahui siapa diri kita (man arafa nafsahu faqad arafa rabbahu).

    Finally, saya kira cukuplah laporan perjalanan saya di pesantren Al-Fatah, Temboro, Magetan Jawa Timur. Soal yg lain-lain tentang Jamaah Tabligh sy gak mau terlalu jauh berkomentar lah. Saya hanya bisa menyimpulkan bahwa Islam eksis hingga sekarang karena dibangun oleh banyak komponen. Kita tidak boleh saling menghujat, apalagi saling meniadakan. Wis gitu ajah. Yang penting kita tetap NKRI. Bener ora Son?

    Udah yah, lain waktu kalau sy berkunjung di suatu tempat akan saya buat laporan perjalanan, sambil berbagi info. Yang mau ngundang-ngundang juga boleh… hehe…

    Met berakhir pekan bersama orang-orang terkasih…. Wallahu a’lam bish-shawab…

    Mmmuahhh…. Lup you puolll… 🙂

    Facebook Comments Box

    Latest articles

    Terbaru

    spot_img